REFORMASI Dalam Perspektif Islam

Krisis monetary dan resesi ekonomi yang melanda negara-negara Asia Tenggara telah menyebabkan tercetusnya gerakan reformasi terutamanya di Indonesia, yang kemudiannya diikuti oleh Malaysia _yang mana kedua-dua negara ini adalah negara yang majoriti penduduknya Muslim. Di Indonesia, gerakan reformasi ini menyebabkan tergelincirnya Soeharto dari kerusi pemerintahannya yang telah diduduki selama 30 tahun, kemudian diikuti oleh proses 'demokratisasi' Indonesia yang memberikan jalan kemenangan kepada Partai Demokrasi Indonesia (PDI)  --yang dipimpin oleh seorang wanita (Megawati)_ dalam Pemilu Indonesia baru-baru ini. Di Malaysia pula, tercetusnya gerakan reformasi ini merupakan 'impact' dari negara jirannya Indonesia, berikutan penyingkiran Anwar Ibrahim pada September 1998. Anwar Ibrahim 'meng-islamkan' tuntutan 'reformasi' ini dengan panggilan 'islah', sedangkan Ustaz Ismail Kamus menamakannya 'tajdiid' . (Detik 15 Jun 1999). Apapun istilah yang diberikan kepada gerakan reformasi ini, umat Islam perlu mengetahui apakah pandangan Islam tentang istilah
'reformasi' ini, serta makna sebenarnya reformasi menurut kacamata Islam.

Reformasi Dalam Pandangan Islam
Dengan melakukan kajian mendalam terhadap Al-Qur'an dan Hadits, akan didapati bahwa Islam mengakui adanya upaya perubahan masyarakat dalam dua bentuk:

Pertama, cara "taghyir", yaitu perubahan yang bersifat fundamental dan menyeluruh menuju masyarakat Islami. Ini dilakukan bila keadaan masyarakat yang ada tidak Islami.

Kedua, cara "islah", yaitu perubahan yang bersifat cabang dan parsial (sebahagian) untuk memperbaiki aspek kehidupan tertentu yang mengalami kerosakan seperti aspek politik, sosial dan ekonomi. Cara ini dilakukan dalam konteks masyarakat Islami, yakni ketika masyarakat tadi hidup dalam konstitusi politik yang Islami yang dikenali dengan Khilafah Islamiyah.

Taghyir mengharuskan adanya perubahan mendasar yang dimulai dari asasnya. Sedangkan Islah merupakan bentuk perubahan yang hanya menjangkau aspek cabang dalam diri individu, masyarakat atau negara. Islah tidak menjangkau sampai ke-asas, karena asas yang ada sudah benar, tetapi hanya perlu dibersihkan atau dikuatkan. Dalam skala mikro atau individu, dakwah untuk mengubah orang kafir agar masuk Islam wajib menggunakan cara taghyir. Sebab, asas pemikiran yang ada pada dirinya salah dan batil, maka kita wajib menggantikannya dengan yang benar, yaitu Aqidah Islamiyah. Kita tidak langsung mengajak
mereka salat sedangkan kita tetap membiarkan kekufuran menjadi landasan hidupnya. Perubahan yang dilakukan harus dimulai dari asas atau akarnya. Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan menerima amal orang kafir betapapun amalnya dianggap baik oleh pelakunya, selagi amalnya tidak dibangun di atas dasar iman yang dibawa oleh Islam :

"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan. Lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan" (QS. Al Furqan 25 : 23).

Rasulullah tidak mengajak orang kafir melaksanakan hukum syara' (aspek cabang) kecuali beliau mulai terlebih dahulu dengan ajakan untuk meyakini syahadatain sebagai landasan aqidahnya (aspek asas). Seperti penegasan beliau ketika mengutus Mu'adz bin Jabbal RA ke Yaman :
"Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Kalau mereka memenuhi seruanmu ini, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk salat lima kali sehari semalam" (HR. Bukhari dan Muslim).

Bila objek perubahannya merupakan individu Muslim, yang kita gunakan adalah cara islah, sebab dia sudah meyakini Aqidah Islamiyyah. Contohnya: masalah seorang Muslim yang bermuamalah dengan riba  harus diatasi misalnya dengan mengingatkannya akan azab Allah yang pedih bagi siapa saja yang menyeleweng dari ajaran-Nya. Kita mengharapkan imannya
akan kembali berfungsi aktif sehingga akan mendorongnya untuk mentaati Allah dan menjauhi maksiat. Ini dalam skala mikro atau individu. Cara perubahan dalam skala mikro di atas berlaku pula bagi perubahan skala makro, yakni kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas peraturan hidup bernegara sekaligus menjadi sumber konstitusi dan undang-undang adalah Aqidah Islamiyyah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga argumen  berikut:
 
Pertama, pada saat Rasulullah Saw. mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, sejak awal beliau mendirikannya atas dasar Aqidah Islam. Hal ini terbukti dari fakta pada saat itu, dimana ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah hukum (tasyri') belum diturunkan. Tapi Rasulullah telah menjadikan syahadah "La ilaha illallah" sebagai asas bagi pengaturan dan penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kedua, Rasulullah telah menetapkan kewajiban jihad atas kaum Muslimin untuk menyebarkan  Aqidah Islam : "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyampaikan kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Bila mereka mengucapkan kesaksian itu, terpeliharalah harta dan darah mereka dariku
kecuali dengan alasan yang benar" (HR. Muslim). Hadis itu menunjukkan bahwa yang diserukan pertama kali kepada suatu komuniti yang menjadi target dakwah adalah Aqidah Islamiyah sebagai landasan kehidupan bernegara dalam masyarakat Islam.

Ketiga, Rasulullah telah memerintahkan kaum Muslimin untuk mempertahankan posisi Aqidah Islamiyah sebagai landasan  kehidupan bernegara dalam masyarakat Islam dengan cara memerangi penguasanya, apabila para penguasa itu menampakkan kekufuran secara terang-terangan (kufran bawaahan). Diriwayatkan hadits dari sahabat Ubadah bin As Samit ra. yang berkata tentang bai'ah  kaum Muslimin kepada Rasulullah :
"Dan hendaklah kita tidak merampas kekuasaan dari yang berhak kecuali (sabda Rasulullah) bila kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti (tentang kekufuran itu) dari sisi Allah" (HR. Bukhari dan Muslim; lihat Shahih Bukhari hadits No. 7056 dan Shahih Muslim hadits No. 1709).

Dari ketiga argumen itu dapat disimpulkan bahwa Aqidah Islamiyah adalah asas negara dan sekaligus sumber konstitusi dan undang-undang (lihat Taqyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Dustur, hal 8). Dengan yang demikian, perjuangan reformasi terlebih dahulu mewajibkan adanya pemahaman fakta terhadap asas pemikiran yang menjadi sumber konstitusi dan perundangan suatu negara. Bila konstitusi suatu negara didasarkan pada asas Aqidah Islamiyah --yakni dengan menjadikannya
sumber hukum dan peraturan kehidupan masyarakat-- maka kemunduran atau penyimpangan yang terjadi harus diubah dengan cara Islah. Sebagai contoh, pada masa akhir Khilafah Islamiyah (abad ke-18 M) yang mengalami kemunduran dan kemerosotan dalam berbagai bidang seperti kelemahan dalam pemikiran hukum (tasyri') dan keterbelakangan dalam sains dan teknologi, Negara Khilafah memerlukan perubahan dengan islah. Dalam keadaan tersebut tidak dibenarkan rakyat melakukan langkah pemberontakan dan mengganggu kewibawaan negara, atau berkomplot dengan kaum kafir Barat untuk  menghancurkan institusi negara (Khilafah).  Itulah kesalahan sejarah yang pernah dilakukan oleh Sharif Husein, wali (gubernur) Hijaz (di kemudian hari berubah menjadi Saudi Arabia) saat itu, yang bekerja sama dengan Kolonialis Inggris. Begitu pula tidak
dibenarkan mengubah sistem politik negara dari struktur Khilafah menjadi Republik, seperti yang dilakukan Mustafa Kamal At-Taturk. Ini tidak dibenarkan, karena reformasi yang mereka lakukan adalah Taghyiir, padahal seharusnya cukup sebatas Islah.

Namun jika konstitusi suatu negara tidak didasarkan pada asas Aqidah Islamiyah, yakni tidak menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber konstitusi, maka negara tersebut berada dalam kondisi yang tidak Islami. Jadi perubahan yang dilakukan mestilah dengan reformasi total (Taghyiir), ertinya bersifat fundamental dan menyeluruh --yang mencakup perubahan sistem politik secara menyeluruh, bukan reformasi parsial atau cabang, semisal perbaikan beberapa
perundangan yang menyangkut aspek politik, pendidikan atau ekonomi sahaja.

Reformasi Menuju Islam
Semenjak keruntuhan Khilafah Islamiyah terakhir di Turki (1924), seluruh dunia Islam berada pada kondisi yang tidak Islami. Kerana itu, cara yang tepat untuk mengubahnya adalah taqhyiir (reformasi total). Sistem ekonomi kapitalis dengan segala 'perhiasannya' telah terbukti menyengsarakan umat. Sistem demokrasi dengan HAM-nya (Hak Asasi Manusia) jelas tak menyelesaikan masalah. Bahkan menerapkannya bererti menentang ajaran Islam. Kehinaan dan kerosakan yang dideriatai oleh
kaum Muslimin saat ini timbul tidak lain adalah azab Allah akibat fasad yang diperbuat oleh manusia sendiri. Dalam menghadapi fasad seperti ini tidak ada cara lain kecuali dengan kembali ke jalan yang benar yaitu kembali memperjuangkan syariat Islam dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan secara serentak (total). (lihat QS. Ar-Rum, 30:41) Berbeda dengan teriakan reformasi yang kian semarak akhir-akhir ini, arah reformasi yang di tuju adalah semata-mata memperbaiki
cabang-cabang sistem sambil tetap mengekalkan bentuk konstitusi yang ada, sedangkan gerakan reformasi Islam menyeru kepada tegaknya syariah Islam semata.

Dan seruan kepada penerapan hukum Islam secara menyeluruh tentu saja harus didahului dengan perjuangan mencabut kondisi yang tidak Islami tadi dari akar-akarnya secara sempurna. Sangatlah naive kalau kalau kita ingin merubah kondisi masyarakat atau negara yang rosak seperti itu dengan cara islah (reformasi parsial). Sebab langkah ini hanya akan  mensia-siakan tenaga dan potensi umat yang amat berharga di jalan yang tidak ditunjukkan oleh Islam.

Dan harus pula diyakini bahwa reformasi parsial hanya 'memanjangkanusia' sistem sekuler, atau merubahnya dari satu bentuk sistem sekuler kepada sistem sekuler dalam bentuk yang lain pula. Sedangkan kita menyedari bahawa sistem sekuler itu merupakan sebuah sistem yang mengakui wujudnya Allah tetapi mengingkari hakNya untuk mengatur kehidupan manusia. Sistem itu pula yang membolehkan manusia mengambil jalan moderate --mengimani apa-apa yang dikehendakinya dan mengkufuri apa-apa yang tidak dibenarkan oleh sistem tersebut. Allah Swt berfirman:

"Barangsiapa mencari agama (ideologi) selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi" (QS. Ali Imran, 3:85).

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan: 'Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian yang lain', serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan tengah (moderate) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar- benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu
siksaan yang menghinakan" (QS. An-Nisaa 150-151).

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah 208).

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An Nisaa 60).

Memang dalam realiti saat ini kita tidak (atau belum) menjumpai penerapan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, misalnya sistem politik atau ekonomi Islam. Tetapi ini bukanlah alasan bahwa sistem Islam tidak layak dikembangkan. Ramai dari kaum Muslimin yang bersikap pesimis memperjuangkan sistem Islam semata-mata kerana
perjuangan itu merupakan sesuatu yang amat berat bagi mereka, atau pada pandangan mereka mengambil waktu yang terlalu lama. Mereka lebih suka mencari solusi yang bersifat seperti 'maggi mee' _cepat dan siap dipakai tanpa mau mengerahkah potensi berfikir dan tenaga yang telah Allah Swt berikan kepada mereka. Banyak pula umat Islam yang hanya memikirkan masalah pribadi mereka, tanpa mau memikirkan masalah umat.

Hanya memikirkan problem yang menimpa kaum mereka atau negara mereka tanpa merasa sedih terhadap derita saudara-saudara se-Islam lainnya. Kita memerlukan ke-geniusan dan keberanian umat untuk melakukan reformasi taghyir (total) untuk membuang semua aturan sekuler dan menggantikannya dengan Islam. Mengapa kita yang mengimani Islam masih
menyerukan reformasi kepada selain Islam dan ragu kepada cara yang ditunjukkan Islam dalam menangani berbagai masalah ? Padahal Allah telah menegaskan janjiNya untuk memberikan keberkahan dari langit dan bumi bila kita benar-benar hidup dalam sistem Islam dan akan mengazab bila diterapkannya sistem sekuler :

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu maka Kami  siksa mereka disebabkan perbuatannya"
(QS.  Al-A'raf, 7 : 96)

Wallahu a'lam